Di Balik Perbatasan: Drama Kecil Menuju Way Kambas


Perjalanan Keluarga yang Penuh Makna

Perjalanan kami dari Muncak menuju Metro Lampung dimulai pada pagi hari yang cerah. Jalanan menurun perlahan dari bukit, angin masih membawa sisa dingin malam, sementara di kejauhan sinar matahari mulai membakar lembut pucuk-pucuk pohon. Anak-anak masih setengah ngantuk, tapi begitu masuk wilayah Metro, suasana berubah ramai dan ceria.

Kami berhenti sejenak di perbatasan kota, tepat di bawah tulisan besar “Selamat Datang di Metro Lampung.” Tentu saja momen ini tak boleh dilewatkan. Istri saya langsung ambil posisi untuk foto keluarga. Tapi begitu tripod berdiri, suasana yang awalnya cerah berubah jadi sedikit “drama pagi.”

Si bungsu bilang, “Aku pengen ke Kotabumi, mau lihat kayak apa kotanya.”
Sementara istri yang masih semangat berpose menimpali, “Iya, sekalian aja ke sana, cuma mau tahu aja, katanya bagus juga.”
Anak nomor satu langsung protes, “Lho, katanya kita mau ke Way Kambas? Udah dari kemarin dijanjiin liat gajah!”
Anak nomor dua ikut nimbrung, “Iya, Way Kambas aja, nanti keburu siang. Di sana kan bisa lihat gajah mandi!”
Jadilah diskusi keluarga di pinggir jalan di bawah tulisan perbatasan Metro itu terdengar seperti rapat darurat. Saya cuma bisa garuk kepala sambil tersenyum,

“Oke… gini aja, kita ke Kotabumi dulu sebentar, cuma lihat dan foto-foto. Abis itu baru lanjut ke Way Kambas. Setuju?”
Anak-anak akhirnya mengangguk, meski wajah si sulung masih setengah yakin, dan istri terlihat senang karena tujuannya masuk daftar duluan. Begitulah, dalam perjalanan keluarga, kadang keputusan bukan soal jarak — tapi soal siapa yang duluan ngomong dengan nada paling lembut.

Kotabumi: Sekadar Singgah, Tapi Tetap Berkesan

Perjalanan ke Kotabumi kami tempuh santai, sambil menikmati pemandangan jalan lintas yang hijau di kanan kiri. Begitu sampai, kami langsung menuju tugu selamat datang Kota Bumi — landmark sederhana tapi cukup ikonik.

See also  3 Rekomendasi Wisata Malam Seru di Surabaya, Mulai Night Ride hingga Jalan-Jalan di Alun-Alun

Kami turun dari mobil, ambil beberapa foto di sana. Anak-anak bergaya seperti turis profesional: satu berdiri dengan tangan di pinggang, yang lain jongkok di depan tugu, sementara istri sibuk mengatur komposisi kamera. Saya sempat bercanda, “Ini cuma foto di tugu aja, gayanya kayak mau syuting iklan pariwisata.”

Setelah puas foto-foto, saya sempat mencoba menggoda, “Gimana, mau sekalian lihat lumba-lumba nggak? Di arah sana bisa tuh.” Tapi anak-anak kompak menjawab, “Nggak! Gajah dulu baru lumba-lumba!”
Saya cuma bisa tertawa. “Baiklah, berarti keputusan final… gajah menang telak 4 banding 1.”

Way Kambas: Akhirnya Bertemu Raksasa yang Ramah

Perjalanan dilanjutkan menuju Taman Nasional Way Kambas, salah satu ikon Lampung yang paling dikenal. Jalan menuju ke sana lumayan panjang, tapi suasananya seru.

Anak-anak sibuk membahas rencana kalau nanti benar-benar lihat gajah: siapa yang mau foto paling dekat, siapa yang pegang kamera, siapa yang cuma mau nonton dari jauh.
Begitu sampai di gerbang Way Kambas, suasana langsung berubah jadi penuh semangat. Dari kejauhan sudah terlihat beberapa gajah besar yang sedang berjalan santai di area padang rumput. Si bungsu langsung teriak kecil, “Itu dia! Gajah beneran!”

Kami turun, membeli tiket, dan berjalan ke area penangkaran. Seekor gajah lewat dengan langkah pelan tapi anggun, membawa tumpukan jerami di belalainya. Saya perhatikan anak-anak yang matanya berbinar — mungkin inilah momen yang mereka tunggu sejak di perbatasan Metro tadi.

Istri saya tersenyum sambil memotret dari jauh, lalu berkata pelan, “Tuh, akhirnya semua keinginan terpenuhi juga.” Saya jawab, “Iya, walau jalannya muter dulu, tapi justru itu yang bikin seru.”

Kami habiskan sore di Way Kambas dengan menikmati suasana alam, udara segar, dan sesekali bercanda dengan pemandu wisata yang ramah. Waktu berjalan cepat, matahari mulai turun, memantulkan warna oranye di punggung gajah-gajah besar itu.

See also  Lima Tempat Wisata Madiun Terbaik untuk Healing dan Liburan Keluarga

Sebelum meninggalkan area, kami sempat berfoto bersama di depan papan bertuliskan “Way Kambas — The Land of Elephants.” Si bungsu berdiri paling depan, masih dengan senyum lebar. Mungkin dalam hatinya ia berpikir: dari laut, ke gunung, sampai ke gajah — semua sudah dilihat dalam satu perjalanan.

Penutup: Menutup Perjalanan di Ujung Sumatera

Malam itu kami memilih menginap tak jauh dari Way Kambas, di sebuah penginapan sederhana yang dikelilingi pepohonan tinggi dan suara serangga malam. Angin terasa lembut, membawa aroma tanah basah dan rumput.

Dari kejauhan masih terdengar sayup langkah gajah yang digiring petugas ke kandang perawatan — bunyi rantai halus di kaki mereka seperti penanda bahwa hari memang benar-benar berakhir.

Kami duduk di beranda, menikmati teh hangat buatan istri. Lampu-lampu temaram membuat suasana semakin tenang. Anak-anak masih sibuk membuka hasil foto dan video hari itu, tertawa melihat ekspresi masing-masing saat memberi makan gajah. Saya tersenyum kecil — perjalanan panjang ini ternyata bukan sekadar melihat tempat, tapi juga mengumpulkan potongan kenangan kecil yang akan jadi cerita bertahun-tahun ke depan.

Jalan Pulang: Menyusuri Tanah Transmigrasi yang Indah

Keesokan paginya kami berkemas. Mobil melaju perlahan meninggalkan Way Kambas, memasuki jalur transmigrasi yang jalannya mulus dan terhampar lurus sejauh mata memandang. Di kanan kiri, ladang hijau membentang, rumah-rumah penduduk berjejer rapi, dan di beberapa titik tampak pura kecil dengan arsitektur khas Bali.

Inilah kawasan trans Bali — wilayah yang dihuni para transmigran asal Pulau Dewata. Suasananya terasa berbeda: aroma dupa pagi, atap-atap rumah bergaya Bali, dan patung-patung kecil penjaga halaman. Saya sempat berkata ke istri, “Rasanya seperti melintasi dua pulau dalam satu perjalanan.” Istri tersenyum dan mengangguk pelan, menikmati pemandangan sambil menggenggam tangan saya.

See also  Scarlett Tunjukkan Komitmen Sosial dengan Program CSR "Umrah Bareng" Bersama Zaskia Adya Mecca

Anak-anak di belakang tampak tenang, mungkin lelah tapi juga puas. Dari snorkling di Pahawang, mampir ke Metro, foto di Kotabumi, hingga bertemu gajah di Way Kambas — semua sudah terlewati. Hanya bunyi angin dan deru mesin yang menemani perjalanan menuju pelabuhan.

Bagikan artikel ini yuk:


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *